Undang-undang no 6/2014 tentang Desa, pasal 78, menegaskan konsep tiga level pembangunan, yaitu level norma, level tujuan, dan level metode. Norma menduduki posisi paling abstrak, tujuan merujuk pada struktur baru yang diharapkan, sedangkan metode menjelaskan strategi, mekanisme atau tata cara guna mencapai tujuan dan menggapai norma tersebut.
Ayat 3 menegaskan abstraksi norma pembangunan, yaitu kebersamaan, kekeluargaan, kegotongroyongan, pengarusutamaan perdamaian, dan keadilan sosial. Ayat 1 membeberkan tujuan pembangunan, yaitu kesejahteraan, kualitas hidup manusia, serta penanggulangan kemiskinan. Ayat 1 juga menunjukkan strategi, mekanisme, atau cara untuk mencapai tujuan pembangunan desa tersebut, yaitu melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Dalam konteks pembangunan desa tersebut, saat ini dibutuhkan arahan pembangunan yang lebih sesuai kondisi lapangan, yaitu yang detil atau mikro, mencakup aspek metode, substansi, dan tujuan akhir, serta tertuju pada kawasan yang sangat kecil, sampai pada pemanfaat keluarga atau individu. Sustainable Development Goals (SDGs, atau diindonesiakan menjadi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB) berposisi mengisi segenap kebutuhan tersebut. SDGs menggabungkan seluruh konsep pembangunan yang pernah disusun manusia, sebagai konperensi tingkat tinggi yang diselenggarakan Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) selama ini: pembangunan sosial, pembangunan ekonomi, pembangunan lingkungan, resiliensi terhadap bencana, kependudukan, dan sebagainya. SDGs memenuhi kebutuhan akan detil pembangunan yang lebih sesuai dengan kondisi riil di lapangan.
Di Indonesia, SDGs diterjemahkan sampai level desa menjadi SDGs Desa. SDGs Desa adalah pemutakhiran data IDM yang lebih detail, lebih mikro, sehingga dapat memberikan informasi lebih banyak. Berdasarkan pengalaman penyusunan data mikro by name by address untuk Bantuan Langsung Tunai Dana Desa, yaitu 8 juta keluarga pemanfaat hanya dalam waktu 2 bulan, kini disadari bahwa mendata dari desa adalah satu-satunya kesempatan untuk memutakhirkan data mikro.
Meskipun dalam wilayah yang kecil, posisi desa sebagai bagian dari birokrasi nasional, posisi masyarakat sebagai bagian kewarganegaraan Indonesia, dan ekosistemnya sebagai bagian ekosistem lebih luas, maka substansi pembangunan di desa juga kompleks. Pada posisi inilah SDGs dibutuhkan untuk diimplementasikan ke desa. Yaitu membangun desa dengan isi yang total, namun dapat dikendalikan pada wilayah dan warga yang terbatas. Artinya, peluang keberhasilan penerapan SDGs pada satu desa, pada masingmasing desa, menjadi maksimal. Ini berita gembira bagi upaya implementasi SDGs di lapangan. SDGs Desa adalah upaya terpadu Pembangunan Desa untuk percepatan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
Pendataan Desa adalah proses penggalian, pengumpulan, pencatatan, verifikasi dan validasi data SDGs Desa, yang memuat data objektif kewilayahan dan kewargaan Desa berupa aset dan potensi aset Desa yang dapat didayagunakan untuk pencapaian tujuan Pembangunan Desa, masalah ekonomi, sosial, dan budaya yang dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi penyusunan program dan kegiatan Pembangunan Desa, serta data dan informasi terkait lainnya yang menggambarkan kondisi objektif Desa dan masyarakat Desa.
Teknis pelaksanaan pemutakhiran data SDGs Desa dilakukan untuk seluruh kuisioner, dalam hal ini kuisioner desa. Kuisioner Rukun Tetangga tidak boleh melewatkan satupun keluarga di desa yang menjadi tanggungjawab pengisian kuisioner enumerator (petugas lapangan yang membantu tugas tim survei dalam pengumpulan data), tidak boleh melewatkan satupun wawancara dengan warga desa yang menjadi tanggungjawab pengisi kuisioner enumerator.
Pendataan SDGs yang dimulai dari tingkat paling bawah, diharapkan menjadi salah satu sumber perencanaan pembangunan baik tingkat desa sampai nasional sehingga akan terwujud pembangunan yang tepat sasaran.