Idealisme Pemuda, Pembangunan Desa dan Kontekstualisasinya di Desa Kendalsari

Ungkapan bahwa desa selayaknya rumah, maka ia adalah tempat untuk pulang, sekiranya merupakan premis yang tepat untuk menggambarkan fenomena sosial yang bertahun-tahun terpatri dalam fikiran setiap warga negara Indonesia. Pada kenyatannya, desa memang memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri yang mampu menghadirkan mantra istimewa bagi segenap insan yang mulai merasa jenuh dengan hingar bingar dan derap kemacetan kota. Hal tersebut tergambar dengan padatnya arus mudik yang terjadi di setiap tahun kala lebaran menjelang. Terlebih, desa memiliki kuasa yang cukup besar untuk memaksimalkan potensi yang ada semenjak diberlakukannya otonomi desa melalui Undang-Undang Desa. Namun untuk mengoptimalkan amanat otonomi tersebut, dibutuhkan aktor pembangunan yang dapat menggali berbagai potensi yang ada di desa. Pemuda merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan, karena pemuda memiliki satu modal besar yaitu idealisme.

Idealisme merupakan salah satu instrumen yang dapat mendorong gerakan perubahan oleh pemuda dari waktu ke waktu. Hal tersebut juga ditegaskan oleh salah seorang penulis sekaligus aktivis kemerdekaan, Tan Malaka, yang mengatakan bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki seorang pemuda. Idealisme bak sebuah „kendaraan mewah‟ bagi seorang pemuda untuk kran-kran perubahan bagi banyak orang. Kendati demikian, „kendaraan mewah‟ tersebut tentu tidak datang sewaktu-waktu dengan sendirinya. Sebuah konsepsi idealisme yang dimiliki seorang pemuda, terbentuk dari setiap jengkal proses interaksi yang pernah dilaluinya, baik secara individual melalui literasi bacaan maupun komunal melalui berbagai diskursus yang diciptakan.

Proses interaksi yang terjadi di lingkungan desa tentu berbeda dengan apa yang terjadi di perkotaan. Corak interaksi yang ada di desa didasarkan atas ikatan lahir (paguyuban) dari setiap warganya. Sementara, corak interaksi di perkotaan cenderung didasarkan atas kesamaan kepentingan antar individu (patembayan). Hal tersebut sedikit banyaknya berpengaruh pada pembentukan prinsip setiap pemudanya, terutama berkaitan dengan ketertarikan terhadap pembangunan desa. Mengingat, disamping banyaknya potensi desa yang dapat dioptimalkan, tidak sedikit pula permasalahan atau kendala yang menghambat pembangunan desa. Menurut hemat penulis, beberapa permasalahan yang masih terdapat di desa diantaranya yaitu, minimnya pemimpin yang inovatif, belum adanya aktor penggerak pemberdayaan desa yang konsisten dan berkelanjutan, serta sulitnya masyarakat untuk beradaptasi dengan teknologi yang semakin maju. Maka mengatasi ketiga permasalahan tersebut, dibutuhkan generasi yang memiliki kemampuan dan idealisme yang kuat untuk terus belajar. Pemuda merupakan salah satu elemen yang dapat menemukan jalan keluar dari permasalahan-permasalahan tersebut.

Pemuda dalam Lintasan Sejarah Bangsa

Idealisme yang baik adalah yang mempunyai nilai dan orientasi perubahan secara plural di masyarakat. Oleh karenanya, idealisme seorang pemuda harus tetap bermuara dan berpijak pada sebuah gagasan untuk kemaslahatan orang banyak, daripada hanya untuk memenuhi ego sektoralnya. Hal tersebut terdokumentasi dalam kilas perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Tercatat dalam beberapa estafet kesejarahan pembaruan kebangsaan pada tahun 1908, 1928, 1945, dan 1996, pemuda selalu ambil bagian terdepan dalam membangun suatu perubahan, yang pada akhirnya menjadi induk dari perubahan-perubahan berikutnya. Dalam mengusir segala bentuk penjahahan pada masa-masa tersebut, pemuda membentuk organisasi kepemudaan dengan ruang gerakan yang tidak hanya sebatas gerakan fisik, melainkan juga melalui pemikiran-pemikiran yang kritis dan konstruktif.

Boedi Utomo merupakan organisasi kepemudaan pertama yang dibentuk oleh Dr. Soetomo pada tanggal 20 Mei 1908. Tujuan utama Boedi Utomo adalah untuk berjuang mewujudkan kemerdekaan, walaupun pada waktu itu pergerakan ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan di jawa. Namun, seiring berjalannya waktu organisasi tersebut berkembang menjadi motor politik pergerakan orang-orang pribumi dan menjadi pelopor lahirnya organisasi pergerakan lainnya di Indonesia hingga saat ini. Disamping Boedi Utomo, gerakan pemuda lainnya yang menjadi tonggak perubahan tatanan negara adalah gerakan Mahasiswa Indonesia ‟98, yang terdiri atas gabungan gerakan mahasiswa pro-demokrasi dari seluruh Indonesia. Gerakan ini berhasil memaksa presiden ke-2 Indonesia, Soeharto, mundur dari kursi kemimpinannya dan melahirkan era reformasi hingga saat ini. Potret gerakan kepemudaan dalam lintasan sejarah kemerdekaan tersebut semakin menguatkan sebuah gagasan bahwa masa depan suatu bangsa sangat bergantung pada semangat generasi mudanya.

Lambat laun memasuki era reformasi, kebebasan berfikir dan berpendapat semakin terjamin dengan adanya berbagai kebijakan pemerintah yang kian pro-demokrasi serta pengaturan secara tertulis melalui konstitusi negara. Adanya jaminan tersebut, seyogyanya membuat pemuda semakin berfikir secara kritis dan objektif dan semakin menempatkan diri sebagai motor aktif sosial masyarakat. Ben Anderson sebagaimana dikutip oleh Andi Suirta mengatakan bahwa pemuda yang merupakan motor aktif sosial sangat potensial untuk dibentuk dan digarap sebagai objek sekaligus subjek serta merupakan mata rantai yang menghubungkan masa sekarang dan masa depan.2 Ungkapan tersebut merupakan penegasan bahwa pemuda sejatinya merupakan agen perubahan (agent of change) dalam membangun bangsa yang berkelanjutan.

Pemuda sebagai Village Change Agent

Berkaca dari perjalanan sejarah, pemuda memiliki potensi besar untuk membawa perubahan yang lebih baik bagi suatu daerah, termasuk salah satunya yaitu desa. Harapan yang selalu disemogakan bahwa pemuda tidak hanya menjadi sebuah ikon perubahan, melainkan juga sebagai aktor dari perubahan itu sendiri. Hal ini lantaran pemuda merupakan kader penerus kepemimpinan nasional atau lokal (desa), pembaharu keadaan, pelopor pembangunan, serta penyemangat bagi kaum remaja dan anak-anak. Figur seorang pemuda sebagai aktor perubahan sangat dibutuhkan dalam memberikan sumbangsih gagasan terhadap kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan birokrasi khususnya di sektor desa.

Pelibatan pemuda dalam pembangunan desa juga merupakan salah satu upaya untuk meregenerasi sekaligus melakukan pembenahan terhadap tata kelola pemerintahan desa, karena pada praktiknya, pemerintahan desa yang memiliki presentase generasi muda yang lebih tinggi dibanding generasi tua, cenderung menghadirkan birokrasi yang inovatif, pendayagunaan teknologi yang tepat sasaran serta strategi pembangunan yang visioner. Upaya-upaya tersebut juga diyakini akan terealisasi dalam kurun waktu yang tidak begitu lama, karena saat ini Indonesia tengah memasuki era bonus demografi yang ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibanding penduduk dengan usia yang tidak produktif. Era bonus demografi merupakan sebuah momentum untuk memaksimalkan peran pemuda dalam setiap sektor yang ada, mengingat fenomena ini terjadi hanya satu kali dalam sejarah suatu bangsa.3 Disisi lain, masuknya era bonus demografi menunjukkan bahwa pemuda merupakan sebenar benarnya aset dalam mencapai kemajuan pembangunan desa di masa mendatang, sehingga hal tersebut juga dapat menjadi momentum bagi desa untuk lebih memberdayakan pemudanya.

Namun demikian, dalam rangka menciptakan kemajuan desa, tentu tidak dapat dilakukan dengan tindakan yang nir-orientasi dan tanpa dibekali modal rasa sosial (social sence). Seorang agen perubahan harus memiliki kualitas jiwa pikiran dan mentalitas positif di setiap proses sosialnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Budiman, bahwa agent of change dalam proses kehidupan adalah para individu yang mempunyai kualitas jiwa pikiran atau mentalitas positif dalam proses-proses sosialnya.4 Hal tersebut diperlukan agar pemuda tidak hanya mampu dalam berfikir kritis, melainkan juga dapat menjadi problem solver atas permasalahan sosial yang ada di desanya.

Secara umum, sedikitnya ada 3 (tiga) peran utama yang dapat diperankan oleh pemuda sebagai agen perubahan desa, diantaranya yaitu sebagai organizer, yang menata dan membantu memenuhi kebutuhan warga desa; sebagai mediamaker yang berfungsi menyampaikan aspirasi, keluhan dan keinginan warga; dan sebagai leader, yang memimpin di masyarakat atau menjadi pengurus publik/warga. Ketiga peran tersebut dapat direalisasikan melalui beberapa bentuk kegiatan pemuda sebagai berikut,

  1. Peran pemuda sebagai organizer, dapat diwujudkan melalui organisasi-organisasi yang dibentuk di lingkup pedesaan, seperti misalnya dengan aktif di organisasi karang taruna. Karang taruna adalah lembaga kemsayarakatan yang merupakan wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas kesadaran dan rasa tanggung jawab dari, oleh dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan atau komunitas sederajat dan terutama bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial yang secara fungsional dibina dan dikembangkan oleh Departemen Sosial.5 Karang taruna memberikan ruang yang cukup luas bagi para pemuda untuk menyelenggarakan berbagai macam kegiatan, termasuk kegiatan di bidang usaha kesejahteraan sosial. Dalam hal ini, pemuda dapat mengorganisir suatu kegiatan yang memberikan manfaat bagi masayarakat desa secara langsung, misalnya dengan turut membantu program pemerintah membagikan bantuan kepada masyarakat kurang mampu atau berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan „pitulasan‟ atau perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang diselenggarakan oleh pemerintah desa.
  2. Peran pemuda sebagai mediamaker, dapat diartikan bahwa pemuda merupakan penyambung lidah antara masyarakat dengan pihak pemerintah desa. Aspirasi, keluhan dan keinginan warga terkadang kurang terakomodir karena ketidaktahuannya tentang bagaimana menyampaikan aspirasi yang ideal dan efisien. Sehingga dalam hal ini, pemuda harus bisa mengamplifikasi hal-hal tersebut dan menyampaikannya kepada pemerintah desa untuk ditindaklanjuti. Disisi lain, pemuda dapat membentuk suatu komunitas yang relevan terhadap permasalahan yang sedang di hadapi, seperti misalnya membentuk komunitas antikorupsi yang berbasis diskusi dan advokasi. Hal ini perlu dilakukan apabila desa tidak menerapkan prinsip keterbukaan dan menutup akses publik terhadap informasi yang seharusnya diketahui oleh masyarakat, seperti anggaran, alokasi, dan penyerapan dana desa.
  3. Peran pemuda sebagai leader. Dalam konteks desa, pemuda dapat menjadi pengurus desa bahkan kepala desa. Peran milenial dalam pemerintahan desa memang diharapkan dapat memberikan warna baru terhadap iklim pemerintahan desa yang cenderung menggunakan cara-cara konvensional. Penggunaan metode konvensional dalam tata kelola pemerintahan akan mengakibatkan pelayanan publik menjadi tidak efisien. Hadirnya pemuda sebagai pemimpin desa tentu digadang-gadang akan memberikan perubahan yang cukup masif terhadap jalannya birokrasi di pemerintahan desa. Tak hanya menjadi kepala desa, pemuda dapat menjadi pemimpin di ruang interaksinya masing-masing, seperti Pengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Kepala Urusan (Kaur), bagian pemerintahan desa terkecil yaitu ketua Rukun Tetangga (RT), hingga komunitas yang ada di desa.

Sekilas tentang Pemuda di Desa Kendalsari

Desa Kendalsari adalah desa yang terletak di Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang. Secara Geografis di sebelah utara desa Kendalsari berbatasan dengan Desa Karangasem, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Wonogiri, di sebelah Selatan berbatasan dengan desa Tegalsari, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Jrakah.6 Secara administratif desa Kendalsari terbagi menjadi enam (6) dusun yaitu, Dusun 1 dengan jumlah 4 RT, Dusun 2 dengan jumlah 9 RT, Dusun 3 dengan jumlah 8 RT, Dusun 4 dengan jumlah 8 RT, Dusun 5 dengan jumlah 4 RT, dan Dusun 6 dengan jumlah 7 RT7 , dengan jumlah penduduk sebanyak 12.612.8 Dusun yang ada di desa kendalsari memiliki aset pemuda dengan latar belakang yang beragam, mulai dari latar belakang pekerjaan, usia, pendidikan, ketertarikan dan keahlian.

Masing-masing latar belakang yang dimiliki, tentu memiliki karakter tersendiri bagaimana proses interaksi antar-pemuda di Desa Kendalsari berjalan. Di Dusun Sidomulyo atau dusun 6 misalnya, terdapat kelompok sepakbola dengan rata-rata usia 16-20 tahun. Kelompok tersebut terbentuk atas dasar ketertarikan terhadap olahraga yaitu sepak bola. Melalui sepak bola, para pemuda yang tergabung secara tidak langsung dapat terhindar kegiatan-kegiatan negatif yang tidak bermanfaat seperti mengonsumsi obat-obatan terlarang, meminum minuman keras, dsb. Selain itu, sepak bola juga mengajarkan bagaimana membangun team-work dan strategi yang baik. Terbukti, tidak jarang pemuda di Dusun Sidomulyo menyelenggarakan turnamen sepak bola yang juga melibatkan dusun lain. Dalam konteks tersebut, pemuda sidomulyo telah menjalankan peran sebagai organizer untuk mewujudkan desa yang sehat dan pemuda yang kompetitif.

Rujukan lain yang dapat dijadikan contoh adalah Dusun Ndukuh, Desa Kendalsari. Hingga saat ini, pemuda Dusun Ndukuh masih konsisten melestarikan kesenian rebana terbangan. Paradigma yang terbangun di masyarakat bahwa kesenian rebana terbangan selalu identik dengan keterlibatan unsur orang tua. Namun demikian, pemuda Dusun Ndukuh melalui kegiatan terbangan, membuktikan bahwa pemuda juga punya andil dalam melestarikan kebudayaan tersebut, sekaligus mematahkan stigma negatif bahwa kegiatan pemuda selalu berkaitan dengan kegiatan yang tidak bermanfaat. Tanpa disadari pula, bahwa kegiatan terbangan yang dilakukan oleh pemuda Dusun Ndukuh dapat menjadi media dakwah, penghibur masyarakat, serta menumbuhkan sikap pemuda yang taat pada agama.

Hal-hal tersebut di atas merupakan narasi nyata yang dapat menunjukkan bahwa pemuda desa tidak selamanya identik dengan emosi, represi dan arogansi sebagaimana stigma ini terbangun di lingkungan urban. Sebaliknya, dalam rangka membangun desa yang berkarakter, pemuda jutstru memiliki sifat yang aspiratif, inisiatif dan inovatif. Kilas perjanalanan pemuda dalam lintas sejarah kebangsaan yang cukup panjang juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari peran pemuda dalam membangun desa. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Secara tersirat dalam undang-undang tersebut disampaikan bahwa desa bukan lagi sebagai objek dalam pembangunan, melainkan subjek dari pembangunan itu sendiri, dan pemuda adalah unsur yang paling elementer dalam setiap proses kemajuan pembangunan desa. Maka, jika dahulu pemuda menggelorakan semangat bersatu, kini ia harus bergerak tanpa ragu.

Referensi

Warga Desa Kendalsari, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang (mahayunan@gmail.com)

Lihat Andi Suwirta, 1993, “Benedict R.O‟g. Anderson dan Humprey Mc Queen: Komparasi Historiografi Antara Indonesia Dan Australia”

Budiman, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 23.

Lihat Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan

Anonim, “Sejarah Desa”, https://kendalsari.desa.id/sejarah-desa/, diakses pada tanggal 4 Oktober 2020

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pemalang, 2019, Kecamatan Petarukan Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Pemalang, hlm. 18.

 

Girli Ron Mahayunan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *