Ini Dia Langkah Kecil Kami, Mencicil Bangun Negri

Para Relawan Ruang Kita Desa Sidorejo

Pendidikan, sedikit banyak telah ikut andil merubah pola pikir kita, para manusia muda dalam membangun negri. Jiwa yang sangat frontal terhadap aturan, yang butuh penjelasan lebih sebelum mau dikekang, jika ekspresif yang tidak suka dengan suasana kaku dengan aturan senioritas jadi identitas kami di mata para orang tua. Ya, kami berbeda dengan angkatan terdahulu, semi millenial barangkali? Atau bahkan sudah kategori millenial? Generasi Z beberapa orang menyebutnya demikian.
Di masa inilah tenaga kami tak terbatas, pikiran yang haus akan rasa penasaran, jiwa eksploratif juga menuntun kami untuk berusaha menemukan apa itu hidup, apa yang disuka, dan bagaimana menikmatinya. Itu juga terjadi pada kami pemuda desa asal Sidorejo, Sebuah desa yang terletak di daerah pantura.
Sedikit demi sedikit pola pikir kami juga dipengaruhi dari bangku sekolah formal, tapi menurutku tak banyak. Tapi, semua yang kelompok pendukung kegiatan formal itulah yang justru lebih punya pengaruh. Teman pergaulan masa sekolah, suasana sekolah, lingkungan main, keluarga.
Termasuk juga komunitas, atau kelompok belajar luar sekolah dan keorganisasian. Mengambil peran, saling membantu dan solidaritas, kepedulian dan kepekaan kita dilatih, kami juga belajar banyak dari ustadz idola kampung kami. Beliau turun tangan langsung dalam berbagai kegiatan kampung, tak hanya instruksi. Kami sangat setuju kalau dunia itu butuh bukti, bukan hanya soal imajinasi.
Bukan soal hafalan yang diraih, tapi ajaran bagaimana menjadi manusia, bagaimana bertindak, bagaimana jadi bermakna tanpa sadar kami dapatkan dari lingkungan sepositif ini. Meskipun kadang
pada prakteknya tidak bisa selalu berhasil, tapi keinginan untuk maju jadi bara penyulut semangat kemudian.
Kami, 4 orang tenaga muda yang dipertemukan dalam sebuah forum yang kami sebut ‘Ruang kita’ punya mimpi. Hidup di lingkungan yang cukup asri keadaannya membuat kami juga ingin membaginya kepada generasi yang lebih muda, sebut saja anak-anak. Dulu, kami bisa bermain engklek, tali karet, petak umpet, glathikan, kelerang, baca komik dan segala jenisnya dengan begitu riang. Sampai-sampai saat tugas masa kerja dan masa kuliah mulai memusingkan, kami serasa ingin balik menjadi anak kecil lagi.
Tak ada anak-anak yang bermain kelompok dengan mainan tradisionalnya. Pemandangan asiknya anakanak bermain kini langka. Yang ada hanya anak-anak di dalam rumah sibuk dengan gadget sepanjang hari. Dibanding anak-anak ini, orang tua kami justru kalah canggih. Jika tak terkendali, anak-anak justru bisa rusak.
Mereka hafal game online terbaru dan bagaimana cara memenangkannya, tau gaya selfie paling oke, dan bahkan handal menirukan gaya youtuber-youtuber kece. Millenial kali mereka ini, batinku. Bukan tidak boleh, atau apa, kadang kami khawatir kalau-kalau mereka yang tak punya cerita masa kecil. Juga kadang berpikir “apa kabar dengan anak-anak yang tak punya gadget?” apakah mereka anak merengek pada orang tua sampai membelikannya, mengurung diri dan tak punya lagi media bermain dan jadi ansos?
Beberapa alasan mendorong kami (Nada, aku, Zuhro dan Ab) untuk mendiringan sebuah taman baca yang juga bisa jadi sarana bermain anak-anak. Sama-sama tertarik dengan dunia sastra dan literasi membuat kami mengambil konsep ini. Awalnya adalah keresahan kami yang juga melihat rendahnya minat baca anak-anak.
Sebuah cita-cita untuk menjadi bermakna berusaha kami wujudkan disini. Tak punya lahan membuat keputusan kami mendirikannya di teras rumah Nada. Nada adalah satu anggota kami yang juga sangat getol untuk aktif di kegiatan sosial. Dia sama, menyukai anak-anak. Saat itu masih SMK, juga Zuhro. Sementara Ab dan Aku sudah ada di usia kerja. Perbedaan itu tak menyurutkan niat kami. Mumpung masih muda, setidaknya ada langkah nyata kami untuk mencicil bangun negri dengan cara sederhana.
Dengan memanfaatkan teras rumah Nada atas ijin ibu dan keluarganya tentu, kami mulai sedikit demi sedikit menata dan mendekornya. Teman-teman terdekat kami ajak berdonasi, baik itu dalam bentuk materi atau buku-buku bekas layak pakai, atau bahkan tenaga. Anak-anak tak kalah antusias saat diminta menanam sedikit tumbuhan, dan membuat seni lipat kertas sebagai hiasan nanti.
Akhir desember 2016 menjadi awal pergerakan kami. Persiapan demi persiapan kami lakukan, tentunya dengan menggandeng semua yang mau diajak berpartisipasi. Alhamdulillah lingkungan mendukung penuh aksi kami. Anak-anak tak kalah antusias menyambutnya. Beberapa diantara mereka dengan bakat menyanyi, hadroh bahkan puisi berani tampil sebagai pembukaan resmi.

Peresmian Tempat Belajar Ruang Kita

Pak RT, Pak RW, bahkan bapak ibu lurah kami undang dan mereka ikut senang dan mendoa kebaikan atas pembugerakan ini. RUANG KITA lahir pada tanggal 7 bulan Januari 2017 dengan segala upaya dan dukungan banyak pihak. Kami hanya bisa berterima kasih atas dukungan mereka. Tanpa embel-embel yayasan atau lembaga lainnya, kami berdikari membangunya demi adik-adik tercinta.
Bukan gerakan besar, ini langkah awal, kami pun masih susah payah untuk tetap membuatnya hidup dan lestari. Pada kenyataannya mempertahankan memang lebih sulit, tapi kami masih berusaha. Beberapa kegiatan lomba kamia adakan demi membuat antusiasme mereka tetap ada. Lomba warna jadi satu perlombaan favorit mereka. Hadiahnya tak besar, iuran dari masing-masing kami hanya mampu membeli sedikit hadiah pada mereka yang paling antusias, tapi keceriaan mereka benar-benar jadi obat.
Bagi kami, membangun negeri bukan hanya soal bangunan mewah. Bukan hanya soal hafalan yang menjenuhkan, atau soal hal-hal lain yang membosankan. Membagi tawa dengan cara sederhana, membagi dunia lewat lembaran kertas bernama buku, dan berbagi kesempatan untuk tampil jadi bagian besar pembangunan negeri.
Anak-anak adalah bibit uggul, mereka bisa tumbuh jadi penopang, mereka bisa lebih besar dari apa yang kita kira. Mereka bahkan bisa memberi arti lebih pada sekitar suatu saat nanti. Mereka butuh stimulan, dan kami berusaha membi tawa agar mereka puya cerita kelak di masa dewasa. Meskipun sedikit, tapi ketulusan itu pasti sampai.
Sekali lagi, tidak mudah kami mempertahankan teras baca yang kami beri nama RUANG KITA. Kesibukan masing-masing kita para ‘pelopor dan pendirinya’ kadang membuatnya tak lagi telalu ramai. Tapi, inilah sedikit upaya yang kami bisa rangkai dalam mengukir masa depan.
Cuplikan profil Ruang kita dapat dilihat di akun instagram officialnya : @ruangkita_0701

RUANG KITA – Literasi jangan mati!

Ruang yang jadi wadah kita untuk berbagi
Ruang yang jadi wadah kita untuk lebih berarti
Ruang yang menjadikan kita lebih jadi manusia
Ruang milik Kita bersama untuk berkarya.
Untuk anak-anak desa Sidorejo, kalian hebat! Bagi anak-anak yang mau mampir membaca, dan bermain, silakan mampir di Dukuh Kedawung Rt 01/06 Gg. Melati 2 Ds Sidorejo Kec Comal Kab Pemalang. Mari lebih berarti.
Untuk Rizqiyah Qotrun Nada : “terima kasih telah mengajakku bergabung membangun wadah mulia anak desa ini, besok kita buat lebih ramai lagi”
Lailatun Zuhro : “terima kasih juga telah jadi partner Ruang kita, selalu menyenangkan bermain bersama anak-anak bukan? Terima kasih sudah jadi bagian dari kami”
Abdul Mukti : “Meski jadi laki-laki sendiri, kamu hebat! Terima kasih telah berkorban demi Ruang Kita Sejauh ini. Kerjasama yang hebat!”

Teruntuk teman-teman yang sudah membantu dan berdonasi : “Terimakasih mungkin tak mewakilkan itu semua, kalian mulia, semoga Tuhan membalasnya”
Semua masyarakat dan anak-anak di sekitar Ruang kita, terima kasih atas partisipasinya. Mari bangun bersama lagi, berkarya dan produktif, kita butuh kerjasama yang lebih baik lagi dari kemarin.

Oleh : Khulatul Asfiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *