Oase Di Pojok Desa; Setengguk Harapan Di Tengah Dampak Pandemi COVID-19

Pemacu Para Perantau Pulang Kampung

Desa seumpama oase, sekaligus menyajikan nuansa kesejukan, bagi para  perantau yang hendak pulang ke kampung halamannya, namun kepulangan  mereka kali ini bukan karena mereka ingin pulang sebagaimana biasanya, melainkan kepulangan mereka tersebab sudah tidak ada lagi yang di kerjakan di kota, akibatnya mereka tidak mempunyai penghasilan yang memadai, maka dengan modal seadanya para perantau itu memutuskan untuk kembali ke desanya.  Peristiwa yang cukup “nelangsa” (sedih) bagi masyarakat desa, bahkan di

seluruh dunia, itu bermula dari merebaknya pandemi COVID-19 atau yang akrab

disebut corona virus, yang sekarang sedang dan masih berlangsung. Disinyalir

muasal virus tersebut berawal dari Kota Wuhan China, penyebarannya semula

dari hewan ke orang, kini penyebarannya dari orang ke orang. [1]

Corona virus menyebar ke beberapa negara termasuk di dalamnya negri kita tercinta Indonesia, yang pada gilirannya DKI Jakarta ditetapkan sebagai zona merah, maka guna memotong mata rantai penyebaran virus tersebut. pada akhirnya pemerintah menetapkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Akibat dari peristiwa corona virus dan digulirkannya PSBB tentu berefek pada banyak sektor, termasuk di dalamnya sektor ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat pedesaan.[2]

Dampak di sektor ekonomi membuat perekonomian di perkotaan mengalami kelumpuhan, banyak perusahaan–perusahaan yang tutup dan banyak buruh yang di PHK. Hal yang senada juga disampaikan oleh teman – teman kami yang sekarang masih di perantauan, bahwa untuk bertahan hidup di dalam pandemi yang masih berlangsung memang cukup sulit.[3] Mungkin hal demikian yang menjadi pemacu para perantau berbondong–bondong untuk pulang kampung halamannya.

Desa Kami Juga Turut Terdampak COVID-19

Pandemi COVID-19 yang semula merebak di zona merah DKI Jakarta, kini dampaknya sudah merebak ke desa–desa, termasuk di antaranya adalah desakami, yakni Desa Kejene, yang terletak di Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang.[4] Sekalipun desa kami belum ada yang positif terjangkit corona virus. Namun dampak corona virus ini sangat mengena bagi sebagian masyarakat di desa kami. Hampir sebagian banyak masyarakat di desa kami, terkhusus generasi milenial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya ia harus merantau ke kota, maka kepulangan mereka dari zona merah.[5] Secara common sense di antaranya akan berdampak, pertama, pada sektor ekonomi dan kedua, pada kehidupan sosial masyarakat pedesaan, seperti yang sudah saya sebutkan di muka mengenai dampak corona virus.

Dampak disektor ekonomi yang pertama, adalah maraknya pengangguran. Para perantau yang biasanya setiap bulan menerima gaji, sekarang sudah pulang kampung, pastinya tidak menerima gaji seperti biasanya. Artinya mereka harus hemat menggunakan sisa-sisa tabungannya. Mungkin bagi yang mempunyai tanah luas di kampung, atau yang belum berkeluarga tidak begitu menjadi soal, sebab yang punya tanah masih bisa menanam, yang belum berkeluarga masih bisa numpang makan sama orang tuannya. Namun bagi yang sudah berkeluarga dan tidak punya tanah luas di kampung ini menjadi tantangan yang cukup rumit.

Selain itu dampak disektor ekonomi yang kedua, adalah menurunnya daya beli masyarakat pedesaan. Akibatnya perputaran uang di kalangan masyarakat pedesaan menjadi kurang stabil, pasar – pasar tradisioal tidak lagi seperti sedia kala dan lebih cenderung sepi pembeli, barang produksi lambat terjual. Omset para pedagang turun, gaji para karyawan yang menjaga toko ikut turun, dan para perantau yang mukim di desa harus berpikir sepuluh kali lipat untuk memilah dan memilih mana yang primer yang harus dibeli, dan mana yang skunder yang tidak perlu dibeli dahulu.

Lebih lanjut dampak disektor ekonomi yang ketiga, yaitu menurunnya harga hasil panen bagi petani, baik itu panen padi, jagung maupun sayuran dan buah-buahan, sebab para pengepul kelimpungan memasarkan barang dagangannya, sekalipun saat ini bahan makanan menjadi komoditi utama yang laku di pasaran dari pada yang lain, namun harus patuh kepada hukum ekonomi, yakni jika daya beli menurun maka tidak mungkin harga stabil. Akibatnya hasil

panen tidak mudah cepat terjual.

Di masa–masa yang sulit seperti ini memang demikian realitas di pedesaan. Bahkan terkadang untuk sekadar mencari lauk-pauk para generasi milenial yang semula merantau dan belum berkeluarga, kini harus kembali adaptif pada hobinya sewaktu kecil, yakni memancing di sungai pedesaan, “ngobor welut”[6] di sawah. sedangkan yang sudah berkeluarga biasanya memberanikan diri menjadi buruh tani, memacul di sawah, “babat, gepyok, dan nyonggah.”[7] Sekalipun tidak semuanya begitu. Namun yang saya kagumi meskipun dalam

kondisi ekonomi yang pelik, tapi watak masyarakat pedesaan selalu menebar

senyum dan berbagi kegembiraan.

Selain dampak di sektor ekonomi selanjut COVID-19 juga berdampak pada kehidupan sosial masyarakat pedesaan, pertama ada dampak kultural, dan yang kedua, berdampak pada ritual peribadatan. selanjutnya kita ulas satu-satu mengenai dampak tersebut, tentunya ini berdasarkan pengamatan saya setelah membaca fenomena pada realitas masyarakat di desa.

Dampak kultural, masyarakat pedesaan yang lazimnya suka berkumpul dan “srawungan, bebrayan”[8] kini harus menjaga jarak, dan bahkan ada yang  saling curiga satu sama lain, semisal ketika melihat orang batuk – batuk, atau melihat gejala lain yang mirip gejala orang yang terpapar corona virus, beruntung hal demikian bisa segera di tepis oleh para perangkat desa dan sesepuh desa, baik itu kiai maupun ustad yang selalu mengedukasi warganya, mengkampanyekan untuk selalu memakai masker, rajin cuci tangan, menjaga jarak demi kebaikan bersama, jangan saling curiga dan jangan panik, juga jangan lupa selalu waspada.

Selanjutnya corona virus juga berdampak pada ritual peribadatan, seperti halnya sholat lima waktu yang biasanya dilakukan berjamaah di masjid, sekarang kebanyakan orang berjamaah di rumah, sekalipun sebagian orang masih ada yang berjamaah di masjid, namun harus memakai masker dan shof_nya harus berjarak kira-kira satu meter, yang biasanya sehabis wirid_an saling berjabat tangan, demi kebaikan bersama hal demikian tidak lagi dilakukan. Ditambah lagi sekarang bulan ramadhan, yang semula masjid-masjid ramai, kini menjadi sepi dan sunyi. Namun saya kira sebagai manusia kita sudah cukup paham, bahwa yang esensial mendahului yang eksistensial, sekalipun corona virus berdampak pada segala tata kehidupan umat manusia pada saat ini, dimana kemudian manusia disadarkan bahwa jarak adalah prasyarat menuju keselamatan dan kemaslahatan bersama.

Nilai – Nilai Luhur Masyarakat Pedesaan Sebagai Oase

Ada pitutur leluhur yang mengatakan “desa mawa cara negara mawa tata”[9] saya kira pitutur tersebut memuat makna yang dalam, setiap kali ada probematika yang menyangkut kehidupan masyarakat, desa selalu mempunyai cara yang arif dalam menghadapinya. Begitu juga dengan merebaknya dampak COVID-19 di pedesan, yang turut melumpuhkan perekonomian masyarakat desa dan membuat kehidupan sosial masyarakat tidak sebagaimana biasanya. Dengan penuh kerendahati-hatian, seluruh msyarakat desa dan segenap perangkat desa, sesepuh, kiai, ustad optimis saling mengamankan, menyelamatkan, menjaga dan mengayomi segenap warganya, juga mematuhi kebijakan dan himbauan dari pemerintah, selagi itu mendatangkan kemaslahatan bersama. Kondisi masyarakat Desa yang sedemikian harmonis dan tidak reaktif, melainkan kreatif dalam menghadapi pandemi corona virus, tentu tidak ujug – ujug ada begitu saja, sebab masyarakat pedesaan masih menghargai kearifan lokal, sebagai misal selalu merawat budaya gotong – royong, srawungan, bebrayan dll.

Saya kira watak nilai yang demikian itu merupakan kehuhuran budi pekerti, yang sudah mendarah daging menjadi “moral virtues” (hasil dari kebiasaan) bagi masyarakat di desa kami, sehingga apa yang mereka persembahkan dalam menghadapi dampak pandemi COVID-19, semata – mata atas nama ketulusan (filantrophi) dan kemanusiaan. Maka watak nilai masyarakat pedesaan itu ibarat oase, yang dapat ditengguk oleh siapapun yang terdampak corona virus, watak nilai tersebut juga dapat menjadi penyegar dan penyejuk, terutama bagi para perantau yang pulang ke kampung halamannya.

 

 

[1]Penyebaran Corona Virus Dapat Dilihat Lebih Lanjut Di Sini,

https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/09/061000865/benarkah-virus-corona-penyebab[1]

covid-19-berasal-dari-pasar-wuhan, (Diakses Pada Tanggal 13 Mei 2020).

 

[2]Penetapan DKI Jakarta Menjadi Zona Merah, Selengkapnya Dapat Disimak Di Sini,

https://megapolitan.kompas.com/read/2020/04/02/09550171/29-rw-di-jakarta-utara-masuk-zona[1]

merah-covid-19, (Diakses Pada Tanggal 12 Mei 2020).

[3]Salah Satu Yang Mengemukaan Diantaranya Teman Saya Yang Bernama Hasan, Ia Bekerja Di Perusahaan Yang Bergerak Di Bidang Tekstil, Bahkan Ia Sekarang Di PHK, Untuk Survive Ia Kemudian Membantu Saudaranya Yang Buka Warung Makan Kecil-Kecilan Di Jakarta.

[4]Desa Kami Bernama Desa Kejene, Terletak Di Kecamatan Randudongkal Kabupaten

Pemalang Jawa Tengah. Lebih lanjut Lihat http://kejene.desakupemalang.id (Diakses Pada

Tanggal 12 Mei 2020).

[5] Masyarakat Di Desa Kami Patuh Pada Himbauan Pemerintah, Para Perantau Yang

Pulang Ke Kampung Halaman Itu Sewaktu Masih Di Perbolehkan Pulang, Sekarang Sudah Lain

Soal, Sebab Sudah Tidak Lagi Diperbolehkan Buat Mudik, Maka Bagi Perantau Yang Masih Di

Jakarta Atau Di Kota Lain, Mereka Survive, Dengan Tetap Di Sana, Dan Mencari Penghasilan

Seadannya, Itu Yang Saya Dengar Dari Bapak Kepala Desa Kejene.

[6]Artinya Mencari Belut Dengan Menggunakan Obor, Senter Dll, Yakni Kebiasaan

Masyarakat Desa Setelah Panen Dengan Kondisi Tanah Sudah Di Bajak, Biasanya Belut Sewaktu

Malam Hari Keluar Dari Sarangnya, Dan Mudah Untuk Ditangkap.

[7]Makna Secara Umumnya Babat Proses Petani Memotong Padi Dengan Arit, Gepyok

Proses Menggebuk-Nggebuk Padi Ke Batu Atau Alat Yang Sudah Dibuat Sendiri Oleh Petani,

Dengan Posisi Badan Agak Jongkok, Fungsinya Memisahkan Padi Dengan Batangnya, Nyonggah

Proses Memanggul Padi, Biasanya Dengan Menggunakan Kantong, Untuk Kemudian Diangkut

Ke Rumah.

[8]Kalau Kata Nenek Saya Srawung Mempunyai Arti Berkupul, Sedangkan Bebrayan

Saling Merawat Tali Persaudaraan, Pada Intinya Out Come_nya Harus Berupa Kebaikan Dalam

Hidup Bermasyarakat.

[9]Desa Mempunyai Adat-Istiadat, Negara Mempunyai Undang-Undang, Tutur Sesepuh

Desa Kami.

 

Biodata : Nama Saya Agus Hasani, Saya hanya seorang

pemuda desa penggemar kopi, dan penyuka sayur asem,

sesekali menulis lepas kalau ada wakktu luang saja.

Kediaman saya berada di Desa Kejene Rt 026 Rw 002. Kec.

Randudonkal. Kab. Pemalang. IG @hsni.agh, E_mail

agushasani7@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *