Pemuda itu Aku

Penanda hari menyibakkan gelapnya malam, ia datang dari arah timur, pertanda bahwa dunia masih baik-baik saja. Berikut para penghuni bumi keluar dari sarangnya, bersiap memulai hari baru. Begitu juga Andi mengawali paginya seperti biasa, menata diri untuk mencari ilmu.

“Assalamualaikum, Andi!” panggil seseorang dari balik susunan pagar rumah, membuat Andi bergegas mengikat tali sepatunya.

“Waalaikumsalam, sebentar, Lang!” setelah menyalimi orang tuanya, ia berlari menghampiri pemilik suara.

“Kita lewat pasar aja ya, biar cepat sampai.”

“Ngga mau ah, lewat jalan raya aja.” Andi bergidik ngeri membayangkan aroma tak sedap menyambutnya dari area pembuangan sampah dan menghinggap di seragam mereka. Meskipun itu jalan tercepat, Andi akan memilih jalan lain selagi ada waktu.

“Bakal telat kalau lewat jalan raya, Ndi.” Berkali-kali Gilang menatap jam tangannya seolah khawatir jam itu hilang dari tempatnya. Dengan berat hati Andi mengangguk.

Lahan pencari nafkah itu mulai ramai oleh pengunjung dan pedagang, tak heran mereka berlomba mencari rezeki sejak fajar beralih tugas dengan mentari. Aroma pagi dan sayur yang terinjak-injak menjadi ciri khas pasar yang tergolong masih  tradisional. Hal itu lah yang Andi benci, karena tempat ini tak jauh dari area pembuangan sampah, baunya yang menyengat menusuk hidung bahkan dari kejauhan. Andi harap secepatnya pasar ini diperbagus terutama area pembuangan sampah.

Bersyukur mereka datang tepat waktu. Namun, kekhawatiran Andi terjadi, seragam mereka berbau tak sedap. Raut Andi berlipat-lipat, kini siswa lain menatap Andi dan Gilang si biang bau sampah.

 

“Maaf ya, Ndi.. Kamu duduk di belakang dulu sama Gilang.” Ujar Dian, teman semeja Andi tak enak hati. Sama halnya dengan Gilang, ia sudah disuruh duduk di belakang oleh teman semejanya, bau Gilang lebih menyengat karena hampir terpeleset dan membuat ujung celananya kotor.

Pelajaran berlangsung dengan aroma tak enak menyelimuti kelas, tak lama guru bahasa Indonesia yang tengah mengajar keluar setelah memberi tugas membuat poster. Samar suara Gilang mengutuk area pembuangan sampah yang sebenarnya hanya benda mati tak bersalah, sementara pensilnya menari-nari di atas kertas.

“Kalau aja ngga ada sampah, pasti kita ngga akan sebau ini sekarang.”

“Sampah pasti tetap ada, Lang. Tapi bisa dikurangi.” Balas Andi setelah tak betah mendengar celotehan Gilang yang masih berlanjut. Andi menyerah, ia abaikan saja kata-kata mutiara dari mulut Gilang dan kembali fokus pada pekerjaannya.

Gores pensil berubah menjadi garis, garis menyatu menjadi huruf dan susunan kalimat. Deretan kata yang populer di masa mendekati hari sumpah pemuda menghitam di lembar putih, “Berikan aku sepuluh pemuda maka akan aku goncang dunia.” Begitulah sepenggal petuah dari Presiden Soekarno.

Tinggal menghitung hari hingga memasuki peringatan di mana nama Nusantara berganti menjadi Indonesia, bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu bangsa, diciptakannya lagu Indonesia Raya dan banyak lagi sejarah di dalamnya.

Benar juga, apa yang sudah Andi berikan untuk Negaranya?

Andi mulai tenggelam dalam tanya jawab hatinya sendiri. Apa benar sudah cukup belajar dengan giat? Andi ingin sesuatu yang lebih berarti untuk Negaranya. Ide-ide gila terbayang di benak Andi. Belum puas, Andi sungguh ingin mewujudkan apa yang ada di pikirannya.

“Lang, kita ubah desa ini jadi lebih bersih.” Celetuk Andi, Gilang mengabaikannya karena hal gila memang sering muncul dari teman lengketnya itu.

“Bukan cuman bersih sementara, tapi selamanya.”

“Mengubah, Ndi.. Mengubah itu butuh waktu, buat siswa SMA kayak kita belajar dengan giat udah termasuk proses mengubah masa depan menjadi lebih baik.”

“Aku ngga bercanda, Lang. Kamu mau bantu kan?” Gilang mengangguk mengiyakan, tak mau panjang lebar. Kita lihat saja seberapa lama Andi bertahan dengan ide dadakannya itu, sementara Andi bersemangat menjelaskan susunan rencananya mengubah desa.

“Ngga usah ngada-ngada kejauhan, kita masih remaja, hal yang kayak gitu bukan urusan siswa kayak kita. Itu urusan pemerintah.” Celetuk Yayan, ia membalikkan badannya menghadap Andi.

“Justru karena kita masih muda, ini kesempatan buat memberi lebih untuk Negara, dimulai dari desa.”

“Kalau mau cari muka, belajar yang rajin, Ndi. Biar nilaimu gede dan jadi kesayangan guru.” Balas Yayan.

“Woi! Ngomong tuh, disaring!” Kepalan Gilang nyaris menyentuh wajah Yayan, sebelum kekacauan terjadi Andi buru-buru menenangkan sahabatnya itu.

“Pulang sekolah kita lakuin semua rencana kamu! Ngga perduli hasilnya.” Ujar Gilang.

Pulang sekolah

Sesuai rencana, Andi, Gilang, dan beberapa teman sekelas yang mau membantu berkumpul di lapangan membagi tugas. Mereka berpencar memungut sampah di jalan sekaligus membagikan poster berisi slogan menjaga kebersihan dengan petuah bijak yang berhubungan dengan sumpah pemuda.

“Berhubung sebentar lagi memasuki hari sumpah pemuda, kami remaja desa ingin meminta sedekah sampah yang bisa didaur ulang.” Kalimat yang sama mereka ucapkan setiap memberi poster.

Banyak respon baik dari warga, meski beberapa membuang poster yang mereka bagikan, itu sudah cukup selagi mereka membacanya berarti pesan tertulis telah tersampaikan.

“Ah, kesel banget tadi ada yang jutek, malah sengaja buang sampah sembarangan.” ujar Riska setelah meneguk air mineral, wajahnya kusam dan memerah karena panas.

“Barusan malah  aku diusir dikira mau minta sumbangan.” Tambah Dian.

Raut kecewa tergambar di wajah mereka, lelah dan marah bercampur menjadi satu. Hawa panas sang raja siang membuat mereka makin kehilangan harapan.

“Mau ku bantu?” ujar suara di belakang mereka, semua mata mencari sumbernya.

“Yayan? Ngapain kamu di sini?” ucap Gilang sewot, ia masih kesal dengan kata-kata Yayan beberapa waktu lalu.

“Bapakku bekerja di sana.” Telunjuk Yayan mengarah ke kelurahan yang tak jauh dari tempat mereka berteduh.

“Di kelurahan? Bapak kamu lurah?” tanya Rayan iseng. Tak disangka Yayan mengangguk, mereka baru tahu kalau Ayah Yayan menjabat sebagai Pak lurah.

“Andi, Gilang.. Aku minta maaf soal omonganku di sekolah, aku mau bantu kalian sebagai permintaan maaf.”

“Iya nggapapa kok, bantu gimana?”

Yayan menjelaskan rencananya membantu Andi dan yang lain mengubah desa, dengan jabatan ayahnya mereka bisa mendapat izin untuk melakukan rencana mengubah desa menjadi lebih bersih. Mendengar tawaran bantuan dari Yayan mereka setuju.

Dua hari kemudian, tepatnya setelah upacara peringatan Sumpah Pemuda di lapangan selesai. Seperti rencana yang baru, mereka berkerja sama dengan warga kerja bakti membersihkan desa, diletakkannya tong sampah setiap 2 meter berjalan.

Tak hanya itu, Andi mempresentasikan sistem membuang sampah kepada para warga. Dengan memisahkan sampah sesuai jenisnya, organik, plastik, kaca, funitur dan kain. Rencananya sampah organik akan dikirim ke pengolah pupuk, sampah plastik dan kaca didaur ulang menjadi barang yang dapat digunakan kembali, sedangkan sampah funitur dan kain yang masih layak pakai akan di donasikan kepada mereka yang lebih membutuhkan.

Ide Andi ini disambut sangat baik oleh warga, mereka mulai memisahkan sampah sesuai jenisnya. Bahkan, selokan yang sebelumnya terhambat sampah digunakan untuk membudidayakan ikan lele dan ikan mas kecil. Area pembuangan sampah direnovasi dengan mengumpulkan uang sedekah sampah dan donasi seikhlasnya.

Desa bangun dengan wajah baru, tanaman subur, sungai dan selokan bersih dengan ikan, pasar menjadi bersih, area pembuangan sampah tak berantakan dan bau. Kini Andi dan Gilang tak perlu khawatir melewati jalan pasar.

“Berikan aku sepuluh pemuda maka akan aku goncang dunia.” Ucap Andi bangga. Kini mimpinya memberi lebih untuk Negara telah tercapai, semoga akan lebih banyak lagi pemuda-pemuda yang berani menyuarakan mimpinya menjadikan Negara yang lebih baik.

 

Ukhtika Aola

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *